Profil Ebit G. Ade

Bertepatan dengan hari Kartini tahun 1954, ia lahir dengan nama Abid Ghoffar Aboe Dja’far, di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah. Bontot dari enam bersaudara pasangan Aboe Dja'far—seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Saodah—seorang pedagang kain ini sebenarnya hampir menjadi seorang guru agama. Namun belum sempat lulus dari sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (setingkat SMP), ia hengkang ke SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Dilanjut ke SMU Muhammadiyah 1 Yogyakarta sehabis lulus SMP. Ihwal namanya yang berubah menjadi Ebiet, pria ini mengaku tanpa sebuah kesengajaan. Waktu SMU ia pernah mengikuti kursus bahasa Inggris, gurunya yang asli bule selalu memanggilnya dengan panggilan Ebid. Karena orang bule menyebut huruf A dengan E. Begitulah, kemudian Ebiet pun mengutak-atik sendiri namanya sendiri, akhirnya didapatkan nama yang dirasa pas membawa hoki. Ebiet G. Ade, singkatan dari Ebiet Ghoffar Aboe Dja’far.

Medio 1971, waktu umurnya sekira-kira 17 tahun, ia seringkali keluyuran tidak jelas di seputaran Malioboro, Yogyakarta. Bertemu dengan para seniman-seniman muda dan bersahabat dengan beberapa orang yang memenuhi hasratnya berkreasi di bidang seni, macam: Emha Ainun Nadjib (Penyair), Eko Tunas (Cerpenis), E.H. Kartanegara (Penulis). Sepertinya Malioboro semacam rumah penggodokan jiwa kreatif Ebiet muda, karena selepas melewati fase kehidupan di sini, ia banyak terpengaruh dengan ide-ide yang diserapnya di sini. Maka, mau tak mau ia pun jadi menyukai puisi dan mencoba mendeklamasikannya di depan orang-orang. Akan tetapi karena tak mampu melakukan hal itu, Ebiet mencari akal supaya bisa tetap tampil membacakan puisi, tanpa perlu mendeklamasikannya. Ia pun menggabungkan musik dengan puisi, kemudian mencari-cari nada dan membentuknya menjadi musik puisi. Bermodalkan ajaran gitar akustik dari kakak ketiganya, Ahmad Mukhodam, sewaktu masih di Banjarnegara dan Kusbini waktu di Yogyakarta, ia pun pede memetik-metik dawai gitar dan melantunkan puisi menjadi musikalisasi puisi. Indah terdengar tuaian dari Ebiet ini saat memusikalisasi puisi orang lain.

Inilah ihwal mulanya Ebiet bisa berkarir di kancah dunia musik Indonesia. Walau hanya beberapa kali manggung—seperti pentas seni di Senisono, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta dan di Jawa Tengah—dan menganggapnya hanya sebatas hobi, namun atas desakan dari kawan-kawannya di PSK (Persada Studi Klub, yang didirikan oleh Umbu Landu Paranggi) dan teman sekosnya, akhirnya ia memutuskan untuk terjun juga di belantika musik tanah air. Sekira 1979 saat umur mencapai angka 25, ia hengkang dari Yogyakarta menuju ibukota Indonesia mengadu peruntungan, dengan menjadi seorang penyanyi. Sekurun itu menjadi penyanyi bukanlah profesi yang bisa dibanggakan seperti sekarang, namun sebuah profesi yang diambil dengan pengorbanan yang luar biasa. Karena penyanyi dipandang sebelah mata! Tidak keren! Dan dianggap profesi kere!

Berkali-kali ditolak perusahaan rekaman tak membuatnya jera, justru sebaliknya Ebiet semakin getol mencipta lagu, hingga akhirnya sebuah perusahaan rekaman bernama Jackson Record tertarik untuk membuatkannya sebuah album bertajuk Camellia I. Cengkok Melayu beserta lirik yang tak biasa untuk pasar musik Indonesia, membuatnya disambut hangat banyak kalangan. Media-media pun mulai banyak yang memuat tentang dirinya, sebut saja koran Kompas dalam artikelnya “Ebiet Menyajikan yang Lain” tertanggal 27 Mei 1979 dan majalah Tempo edisi 26 Mei 1979 dengan artikelnya “Penyair yang Bernyanyi”. Tak main-main album Camellia I pun sukses dari sisi penjualan dengan terjual habis lebih dari dua juta kopi. Lagu-lagunya pun banyak diputar-putar di radio-radio RRI seluruh Indonesia.

Sukses dengan album Camellia I, Jackson Record & Tapes membuatkan tiga sekuel album Camellia I hanya dalam waktu dua tahun saja, yaitu: Camellia II (1979), Camellia III (1980), dan Camellia IV (1980). Dilanjutkan dengan album Langkah Berikutnya (1982), Tokoh Tokoh (1982), 1984 (1984), Zaman (1985), Isyu! (1986), masih dengan perusahaan rekaman Jackson Record & Tapes. Medio 1980-an merupakan masa-masa paling produktif bagi Ebiet. Rata-rata hampir tiap tahun ia menelorkan sebuah album. Pun demikian secara sadar atau tidak, Ebiet pernah menolak untuk disebut sebagai seorang penyanyi. Namun yang pasti karya-karya Ebiet memiliki bobot yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi belantika musik tanah, khususnya relevansi dengan peristiwa sosial di berbagai zaman di manapun. Sebut saja, saat kawah Sinila mengeluarkan gas beracun di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, bulan Juni 1978, saat Gunung Galunggung, Jawa Barat meletus pada 1982, saat Kapal Tampomas II karam di perairan Masalembo 1981, saat terjadi kecelakaan Kereta Api Bintaro tanggal 19 Oktober 1988, peristiwa Tsunami Aceh 2004, dan gempa Yogyakarta 2006.

Ini bukan hukuman
Hanya satu isyarat
Agar kita mesti banyak berbenah


Ya, berbenah. Barangkali itu yang harus dilakukan bangsa ini untuk mendapatkan kemajuannya. Seperti Ebiet sendiri yang kemudian berbenah sekitar kurang lebih 5 tahunan di tahun 1990, setelah merampungkan tiga albumnya: Menjaring Matahari (EGA/RCA, 1987), Sketsa Rembulan Emas (EGA/Harpa, 1987), dan Seraut Wajah (Musica Studios, 1990). Ia seolah-olah bermeditasi, setelah jengah hampir setiap tahun mengeluarkan album musik, kemudian mengumpulkan kekuatan untuk membaharui dirinya. Lelaki yang meminang Koespudji Rahayu Sugianto (Kakak penyanyi Iis Sugianto) di tahun 1982 dan dikaruniai empat orang anak (Abie, Dera, Yayas, dan Dega) ini, kembali meliris dua album tahun 1995, Kupu-kupu Kertas dan Cinta Sebening Embun di bawah label BMG Indonesia.

Ia terkenal sebagai seorang penyanyi yang bersahaja dan tidak macam-macam, sehingga tidak banyak kehidupan pribadinya disorot wartawan gosip. Pada 2007, ia mengeluarkan album bertajuk In Love. Album yang direkam di label Trinity Optima ini merupakan semacam album celeberation usia pernikahannya yang mencapai seperempat abad (25 tahun, 1982-2007). Sebanyak 15 lagu yang pernah populer dengan tema cinta, dibaur dengan arransemen ulang oleh beberapa musisi-musisi handal, seperti Billy J. Budihardjo, Addie MS, Purwa Tjaraka, Erwin Gutawa, Kiwir, Tony Soewandi, Adi ‘KLa’, Tohpati dan Andi Riyanto. Tak hanya musisi-musisi handal yang ikut mewarnai album ini, Abie—anak pertamanya yang memiliki talenta musik, turut pula dalam proses produksi. Album itu sekaligus menandai bahwa pemusik balada itu masih terus berkarya hingga kini. Mengawal para pendengarnya ke padang kesadaran bahwa mereka adalah makhluk ciptaan-Nya.


Sumber: http://www.dbiografi.com/2013/12/biografi-ebiet-g-ade-penggembala-lagu-sendu.html

LihatTutupKomentar